Sabtu, 09 Februari 2019

BATIK; ANTARA KEINDAHAN DAN PREMIS

Sejak dahulu Indonesia terkenal sebagai negara yang kaya akan keragaman budaya. Mulai dari beragamnya tarian khas, alat musik, rumah adat dan lain-lain, termasuk batik. Batik yang merupakan seni melukis di atas kain digambar dengan pola dan dengan cara pembuatan yang khusus yaitu menuliskan atau menempelkan zat lilin (malam) pada kain. Sehingga tak dapat disalahkan jika ada sebuttan lain untuk batik, yaitu kain bergambar yang sudah mempunyai pola dan cara penggambaran khusus dengan cara menempelkan atau menuliskan malam (zat lilin) pada kain tersebut.

Saat ini diketahui bahwa setiap daerah mempunyai batik dengan motif khas masing-masing. Motif yang beragam ini  dipengaruhi oleh ciri khas budaya dan juga keyakinan di tiap daerah tersebut. Total motif yang tercatat pada kain batik di Indonesia sekarang adalah 30 jenis motif. Hampir menyamai jumlah provinsi di Indonesia.

Setiap motif yang dituliskan pada selembar kain hingga menjadi batik mengandung filosofi serta makna tersendiri. Motif yang hendak dilukis benar-benar dipilih kenidahna dan makna yang dikandungnya. Ada unsur estetika dan etika disitu. Hasilnya tidak hanya sekedar kain yang digunakan untuk menutup tubuh, namun mempunyai arti yang sangat mendalam bagi masyarakat di daerah itu. Sehingga tak jarang ada motif batik yang disakralkan dan hanya boleh digunakan oleh kalangan tertentu.

Dalam perkembangannya batik pun digunakan dengan padu-padan yang dipakai secara bersamaan untuk mengaktualisasikan kekompakan. Diberbagai sekolah, perusahaan, komunitas banyak sekali dijumpai penggunaan batik sebagai bentuk identitas kolektif. Batik yang digunakan bercorak sama, bermotif menarik dan benar benar mewakili komunitasnya.

Komunitas dengan pakaian seragam terkesan lebih solid dan memiliki jiwa korsa yang lebih tinggi dibanding komunitas dengan pakaian kasual biasa. Setiap anggota komunitas mewakili komunitasnya, demikian pula sebaliknya. Seakan antara individu dalam komunitas terikat dalam satu kohesi saling menguatkan komunitas itu.

Sederhananya, antara komunitas, batik seragam, dan keterikatan keanggotaan merupakan sebuah premis. Jabaran landasan kesimpulan itu terkesan ekstrim dengan silogisma; “ini merupakan komunitas dengan individu berseragam batik, selagi berseragam batik maka individu itu adalah anggota komunitas”.
Sekiranya silogisme diatas benar, apakah patut dipertentangkan lagi antara keindahan batik dan premis yang dikandungnya (you know what i mean lah yau...)?

Yuk kita jawab singmasing...